Rabu, 25 November 2015

Terima Kasih Guruku ...

            Pada setiap tanggal 25 November bangsa Indonesia menyediakan hari untuk peringatan bagi bapak dan ibu guru. Saat itu sebagian besar jiwa kita seakan terlempar sejenak ke masa lalu. Masa di mana kita masih berada di bangku sekolah untuk menuntut ilmu. Tanpa sadar kita seakan diingatkan kembali akan jasa dan pengabdian para guru yang pernah mendidik dan mengajar kita sehingga menjadi insan yang berpengetahuan.  

            Pada tanggal 25 November yang sudah berlalu, sebagian besar kehidupan sosial kita tertuju pada sosok seorang guru. Status BBM, Facebook, Twitter serta berbagai lini sosial lainnya sebagian besar memberikan perhatian dan selamat pada guru yang sedang ber-hari raya. Mulai dari sekedar mengucapkan selamat hari guru, mengutip syair lagu tentang guru hingga mengenang romantisme pada sosok masing-masing guru yang pernah mendidik dan mengajar para pengguna media sosial.

            Presiden Joko Widodo pun dalam puncak peringatan hari guru tampk bahagia ketika di hadapan beliau duduk beberapa orang guru yang pernah mengajar beliau semasa SMA. Tanpa luput beliau menyebutkan nama beberapa guru yang  sengaja dihadirkan dari Kota Solo untuk memperingati hari guru bersama Presiden Republik Indonesia yang notabene merupakan bekas murid mereka.

            Setiap kita tidak lepas dari sosok seorang guru dalam berbagai tingkatan pendidikan. Mulai tingkat TK, SD, SMP hingga SMA. Jujur tidak banyak guru TK yang bisa saya ingat. Kalau guru SD saya masih ingat karena memang jangka waktu mereka mengajar cukup lama. Setidaknya masing-masing guru mengajar setiap hari selama  satu tahun. Salah satu yang saya ingat diantaranya guru kelas 5 yang sekarang sudah almarhum. Pada guru laki-laki ini saya seakan menaruh ”dendam” dan saat itu membuat saya tidak mau memiliki impian sebagai seorang guru.

            Betapa tidak, saat itu beliau ketika pelajaran berlangsung seringkali menggoda murid perempuan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, menggodanya menjurus kea rah fisik sekalipun tidak sampai berlebihan. Saat murid-murid mengerjakan tugas, bapak ini acapkali mendatangi tempat duduk murid perempuan. Bahkan yang dikunjungi oleh bapak ini merupakan murid perempuan pilihan, artinya hanya yang memiliki paras cantik dan menarik saja yang didatangi oleh pak guru. Setelah duduk di sebelah sang murid putri, segera rambutnya dibelai dan tangannya dipegangi. Bila murid yang dirasa kurang cantik atau bahkan yang laki-laki, jangankan didatangi kalau ada yang bertanya pun tidak akan segera direspon.

Memang tindakan pak guru ini tidak sampai mengarah pada perbuatan mesum, namun tindakan dengan alasan kasih saying namun berlebihan tersebut sangat membuat risih. Bagi kami yang melihatnya saja rasanya jengah apalagi bagi murid perempuan yang mengalaminya, tentu muak namun sungkan untuk menyampaikan. Pada saat kami naik ke kelas 6, saya merasa bahagia karena tidak dajar oleh guru tersebut lagi.

Ketika saya masuk di tingkatan SMP yang termasuk SMP favorit nomer dua d kota Surabaya. Bangga juga karena di sekolah ini banyak anak pejabat yang bersekolah, sekalipun pada masa berikutnya ada juga yang belakangan diusut oleh penyidk KPK. Berita itu saya ketahui jauh setelah saya sudah lulus SMP, mengingat waktu saya SMP masih masuk dalam jaman orde baru. Oya ternyata di sekolah ini ada juga anak pelatih sepak bola yang menjad idola saya. Suatu kali ketika saya piket jaga di dekat lapangan sekolah, ada sosok Rusdy Bahalwan yang tiba-tiba mengajak saya bicara. Wah, bangga banget ada orang yang selama ini saya idolakan secara tak terduga mengajak berbincang sekalipun hanya basa-basi seputar keadaan sekolah. Tau kan Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya Surabaya yang fenomenal itu. Saat itu saya menggemari Persebaya yang sedang mencapai puncak kejayaan ditangani oleh duet Rusdy Bahalwan dan Subodro.

Pada masa SMP ini pula pandangan saya terhadap guru mulai berubah seratus persen. Saya mulai melupakan tindakan guru SD saya yang lalu itu. Saat itu saya menemukan sosok guru yang benar-benar menjadi panutan. Chamim Rosyidi Irsyad merupakan guru yang menyita perhatian saya dan sebagian besar siswa lain. Sosok beliau yang sederhana, lugas dan mau menghargai orang lain menjadikan saya rindu untuk suatu kali menjadi seorang guru seperti beliau. Semua pendapat dari berbagai siswa yang tentu beragam dan berbeda dapat diolahnya dengan baik. Menerima tapi selektif, menolak tapi tidak menyakiti.

Gaya beliau dalam mengajarkan Bahasa Indonesia membuat pelajaran yang semula diremehkan itu menjadi menarik untuk diikuti. Bahkan ketika beliau suatu kali harus tidak masuk, saya sepertinya kelewatan kesempatan besar. Pernah ketinggalan sebuah film serial yang rutin ditayangkan di televisi, nah seperti itu kira-kira rasanya saat saya mendapati Pak Chamim tidak masuk mengajar. Memang hasil didikan beliau tidak langsung saya rasakan saat itu, namun ketika belakangan saya mulai menekuni profesi sebagai pengajar dan mulai rajin menulis, baik di dunia maya maupun ketika menerbitkan buku maka ilmu yang beliau transferkan saat itu mulai terasa manfaatnya.

Saking kagumnya saya pada Pak Chamim, maka gaya beliau mengajar dapat saya tirukan dengan baik. Seperti ketika beliau menerangkan sebuah materi seringkali mengawali dengan perkataan “begini anak-anak….” sembari mengusap rambut bagian belakang. Pak Chamim saat itu masih terbilang sebagai guru baru di sekolah kami, sehingga saya sering mendengar selentingan negatif tentang beliau yang diucapkan oleh guru lain yang lebih senior. Namun saya tidak ambil pusing, bagi saya apapun komentar orang tentang Pak Chamim tidak akan mengurangi rasa hormat saya pada beliau.

Pada masa SMA saya kembali menemukan sosok guru ideal. Ketika saya kelas III jurusan IPS, sosok Suad Suryadinata seperti menunjukkan arah untuk kehidupan saya selanjutnya. Pak Suad selaku pengampu pelajaran Tata Negara mampu menerangkan masalah politik, hukum dan kebangsaan yang semestinya ruwet menjadi sederhana bagi otak anak seusia SMA yang biasanya malas berpikir ribet apalagi anak IPS. Istilah-istilah kenegaraan yang tidak mudah dapat saya serap dengan baik karena penyampaian yang lugas dan sesekali ditimpali humor. Saya yang saat itu masih gamang harus melanjutkan pendidikan ke mana, segera bertanya pada Pak Suad di mana beliau dulu kuliah.

Pak Suad yang asli dari Tasikmalaya ini menjawab kalau dulu kuliah di IKIP Surabaya jurusan PMPKn. Tanpa pikir panjang, pada waktu Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), saya segera mendaftarkan diri untuk masuk kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang dulunya bernama IKIP Surabaya. Jurusan pendidikannya tidak lain di PMPKn, tempat yang sama dengan Pak Suad kuliah dulu. Bahkan sebagian dosen yang mengajar saya, dulunya merupakan dosen Pak Suad juga.

Sosok Pak Chamim dan Pak Suad merupakan figur yang secara kuat mempengaruhi saya untuk saat ini memilih profesi sebagai seorang guru. Adapun guru SD yang masih membekas di hati saya hanya Bu Emi guru kelas 6, beberapa kali ketika bertemu di jalan saya sempatkan untuk berhenti hanya untuk sekedar cium tangan. Bahkan saya sempat juga mengantar beliau pulang saat mendapati beliau harus berjalan kaki setelah suaminya meninggal dunia, sehingga tidak ada yang menjemput di sekolah lagi.

Hari ini sudah delapan tahun saya secara resmi menjadi seorang guru, mengikuti jejak para penerus saya untuk mencerdaskan anak bangsa. Saya tidak akan melupakan jasa semua guru yang pernah mendidik saya dari kecil hingga lukus sekolah. Kalau pun ada sosok tertentu yang tidak bisa saya lupakan, itu karena figur mereka terlalu kuat melekat di hati dan ingatan saya. Terima kasih bapak dan ibu guru…terima kasih Pak Chamim dan pak Suad, anda berdua pahlawan bagi saya…Tuhan membalas kebaikan anda dengan kesehatan, kesejahteraan dan kedamaian hidup bersama keluarga.

( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar