Minggu, 26 Juli 2015

Edisi Jaga Kampung (01) : Tugas Bersama Pak Iwan





            Jarum jam menginjak pkl. 21.00, saat itu Pak Iwan tetangga yang tinggal di blok P datang ke rumah saya. Kunjungannya malam itu untuk menghampiri saya guna jaga malam bersama pada hari pertama. Ya, hari itu sampai beberapa hari ke depan saya bersama dua orang lain bertugas untuk jaga kampung di wilayah RT 17 guna keamanan rumah warga yang sedang ditinggal mudik.

            Malam itu, Rabu 15 Juli 2015 merupakan giliran pertama untuk jaga kampung. Mungkin lebih tepatnya jaga komplek ya, karena wilayah yang kami diami ini merupakan lokasi perumahan. Sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, tiap wilayah RT diberi tugas untuk menjaga lingkungan masing-masing. Nah pada RT kami tugas jaga ini dipercayakan pada tiga orang. Selain saya sendiri, ada juga Pak Iwan dan juga Pak Saiful. Peserta tetap jaga mulai tahun lalu adalah saya dan Pak Iwan. Sementara seorang lagi seringkali diserahkan pada warga yang tidak mudik namun diyakinkan untuk mau menjaga.

            Memang tidak mudah untuk mengajak partisipasi warga supaya terlibat jaga keamanan kampung. Selain mereka banyak yang mudik ke keluarga asalnya, juga kebanyakan lebih memilih membayar iuran saja dari pada ikut begadang semalaman. Saya sendiri pun baru tahun kedua ini ikut jaga kampung, mengingat pada periode-periode sebelumnya papa saya yang bertugas jaga. Nah, ketika beliau sudah almarhum maka tak mudah untuk mencari penggantinya. Mau tak mau tugas jaga ini pun diwariskan pada saya. Sedangkan Pak Iwan sudah mulai ikut tugas jaga sejak pertama kali ada pembagian jaga empat tahun lalu bersama papa saya.

            Malam itu kami berdua mulai tugas dengan duduk berdua di depan rumah yang terletak di ujung blok. Tepatnya di depan rumah E-01 kami duduk di bawah cahaya yang temaram, karena fasilitas listrik yang sudah mulai minim. Pemilik rumah yaitu Pak Rofik sudah mudik ke Madura sejak beberapa jam lalu. Ngobrol ngalor ngidul sembari mengawasi warga yang masih bertebaran di sepanjang malam itu, menjadi pilihan aktivitas kami untuk membunuh malam. Pak Wan ini termasuk orang yang seru karena selalu pandai membuat bahan pembicaraan. Apapun bisa dibicarakan dan menjadi topik yang menarik untuk diikuti.

            Pak Iwan merupakan orang Sunda kelahiran Garut yang beristrikan perempuan asal Tulungagung. Sang istri sudah lebih dulu berangkat mudik siang sebelumnya. Sementara Pak Iwan memilih untuk berjaga di komplek perumahan sampai usai lebaran. Sembari penasaran saya sempat bertanya pada Pak Iwan mengapa dia memilih ikut berjaga di komplek dari pada ikut istri mudik ke Tulungagung atau pulang ke Garut. Saya heran saja, kalau alasan demi keamanan warga maka terlalu normatif untuk dijadikan alasan. Saya menduga pasti ada alasan lain yang menjadi pegangan, sehingga empat tahun ini lebih memilih bertahan di Gresik dari pada ikut latah mudik sebagaimana warga kebanyakan.

Pak Iwan punya argumen tersendiri mengapa tidak mau ikut istrinya ke Tulungagung untuk berlebaran di rumah mertua. Menurut dia, berlebaran di kota yang berbatasan dengan Kediri itu tidak ubahnya seperti hari biasa. Bagaimana tidak, ketika dia berkunjung pada hari biasa di rumah mertuanya itu sering mendapatkan suguhan makanan daging ayam yang dijadikan opor. Sementara ketika lebaran menu yang sama pun didapatnya tak beda ketika hari biasa itu. Dia membandingkan ketika berlebaran di Garut, makanan yang dinikmati saat hari-hari istimewa berbeda dengan hari biasa. Hal itulah yang membuat lebaran terasa beda dengan hari lain pada umumnya.

Selain itu Pak Iwan juga merasa kurang nyaman karena ketika waktunya silaturahmi seringkali menunggu saat usai Maghrib tiba. Sementara pada warga kebanyakan usai menunaikan Sholat Ied langsung berderet untuk bersalaman ke masing-masing tetangga. Hmm, lain lubuk lain ikannya. Lain padang lain belalang. Lain tempat lain pula adatnya. Namun semua boleh dan sah saja untuk menjadi pertimbangan pribadi, termasuk bagi pak Iwan ini.

Sementara pilihan untuk tidak mudik ke Garut diambilnya mengingat selain kedua orang tua sudah tidak ada juga dalam waktu dekat dia akan pulang ke sana untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat. Dari pada harus dua kali bolak balik ke sana, Pak Iwan pun memilih lebaran tidak mudik ke Garut.

Dalam tugas jaga ini kami bertiga mendapatkan imbalan sekedar pengganti uang lelah, yang nilainya lumayan juga untuk tugas selama tujuh hari. Namun tentu sangat naif kalau alasan dapat imbalan uang dijadikan dasar mau berpartisipasi menjaga keamanan kampung. Setiap warga sebelum mudik membayar iuran sebesar lima puluh ribu yang salah satu alokasi dana iuran tersebut digunakan untuk membayar jasa warga yang mau bertugas jasa. Menariknya, setiap tahun imbalan jaga ini selalu naik sekitar lima puluh ribu. Ya lumayan buat penambah semangat untuk yang bertugas jaga.

Kami mendapatkan tugas jaga ini terdiri atas tiga orang, namun dalam setiap harinya diatur sehingga sepertinya ada dua orang yang berjaga sedangkan yang satu beristirahat. Sementara itu dalam rentang tiap jam ada seorang petugas dari lingkungan RW yang berkeliling mengedarkan absen tanda tangan bagi yang berjaga mulai RT 11 sampai RT 17. Malam pertama kami sudahi sampai pkl. 02.30 mengingat Pak Wan masih harus menyiapkan makan sahur dan saya sendiri merasa kurang prima karena dinginnya udara Surabaya beberapa hari ini yang diakibatkan adanya gejala alam yang disebut Badai Nangka.

Tugas jaga ini dibagi dalam dua sesi. Sesi satu dimulai pagi hingga  siang hari dan sesi malam berlangsung sampai menjelang subuh. Pagi hari besoknya Pak Saiful yang berjaga sendirian. Sementara pada keesokan malam giliran saya kembali bertugas jaga bersama Pak Saiful. Mudah-mudahan berjaga bersama Pak Saiful tidak kalah seru dengan saat berduet bersama Pak Iwan, supaya tidak cepat ngantuk kala malam tiba....
           
( Okky T. Rahardjo, 085645705091, 518CC94A )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar