Kamis, 27 Februari 2014

Selamat Jalan, Papa ...( Sebulan Telah Berlalu )




            Hari ini saat aku menghitung butiran angka di kalender, aku menyadari seharusnya usia mu menginjak lima puluh sembilan tahun. Tapi apa daya pada tanggal yang sama bulan yang lalu, engkau telah menutup lembaran perjalanan hidupmu untuk selamanya. Tak terasa sebulan engkau meninggalkan segala kisah demi kisah yang telah tertuang dalam catatan hidupmu.

            Pada malam yang sunyi ini aku mencoba menengok kembali lembar demi lembar perjalanan bersamamu. Pahit manis, suka dan duka serta segala liku-liku hidup semua telah tertuang dalam lembaran hidup yang bernama pengalaman. Hari demi hari yang aku lalui bersamamu memang tak selalu berhiaskan manis, tak selalu berlandaskan suka namun semua terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Tak mudah untuk dilupakan walau pun juga tak akan mungkin untuk terulang lagi.

            Salah satu yang tak mungkin terlupa adalah ketika kita berdua duduk di pelataran gedung World Trade Center (WTC) Surabaya untuk sekedar menantikan kedatangan personel Koes Plus yang akan manggung untuk pertama kali di Surabaya, usai mereka vakum sekian waktu. Saya sadar bahwa kita tidak mungkin masuk ke dalam gedung tersebut. Saya sadar bahwa kita tak mungkin akan menyaksikan Koes Plus manggung malam itu. Saya juga sadar bahwa tiket seharga dua puluh lima ribu atau bahkan lima puluh ribu masih terlalu mahal untuk kita jangkau saat itu. Namun kenangan duduk berdua di halaman gedung pertunjukan yang saat itu masih belum banyak tandingannya, masih membekas hingga hari ini. saat kita menyaksikan orang berlalu lalang mempersiapkan diri menyaksikan penampilan grup kesayangan mereka. Sekian lama kita menantikan hanya sempat menyaksikan kehadiran Benny Panjaitan yang meluangkan waktu untuk hadir. Akhirnya kita memutuskan untuk pulang saja tanpa menunggu lagi kedatangan Koes Plus yang tiada jelas kapan tiba di gedung yang terletak di belakang Delta Plasa itu.

            Saat kita mampir sejenak untuk makan malam di warung gule kambing sebelah kantor Damri, saat itu melintas serombongan mobil dengan pengawalan beberapa anggota kepolisian, melintas memecah kemacetan jl. Basuki Rahmat. Sirine yang meraung-raung itu ternyata mengawal personel Koes Plus yang sedang melaju dari arah hotel Mirama menuju lokasi pertunjukan di jl. Pemuda. Antara nelongso, kagum, kecewa dan bangga bercampur jadi satu manakala kita hanya melihat mobil mereka melaju di depan kita. tapi ya sudah, menjadi keputusan kita untuk tidak lagi ke area pertunjukan mengingat waktu sudah semakin larut. Saat itu 23 Juli 1993, dua puluh satu tahun berlalu di depan mata, namun tak mudah untuk dilupakan begitu saja.

            Kali lain tak akan terlupa saat sebelum tidur, tiap malam engkau mengisahkan tentang perjalanan musik popIndonesia melalui grup musik yang pernah menghiasi ruang dengar era tujuh puluhan. Satu per satu engkau kisahkan bak dongeng pengantar tidur. Di usia ku yang masih menginjak tingkatan lima pada sekolah dasar, telah kau kenalkan aku pada nama-nama semacam Panbers, The Mercys, D’lloyd, Favourites Group, The Gembell’s, De Hands, Bimbo dan lain sebagainya. Bahkan dengan penuh kebanggaan aku mulai memutar koleksi lawas kasetmu yang sudah lapuk termakan usia pada tape deck murahan yang maish tersisa di rumah. Ketika satu per satu pita kaset itu putus, engkau dengan telaten membongkar dan menyambungkan lagi. Sungguh, papa adalah seorang teman diskusi ku tentang musik untuk pertama kalinya. 

            Tak akan pernah aku lupakan ketika engkau mengenalkan kepadaku kegagahan dan ketangguhan kota Surabaya di masa lalu. Kisah demi kisah seputar kota ini pernah engkau tuturkan kepadaku dengan bahasa yang mudah dimengerti. Walaupun aku sadar engkau bukanlah pejuang saksi kemerdekaan, namun pengalamanmu yang lebih dulu hidup di kota ini membuat aku makin kagum dan mengenali ragam keunikan kota kelahiranku ini. Makin terasa kagum ketika engkau kisahkan perjalanan rangkaian kereta trem listrik yang melintas membelah kota Surabaya yang pernah engkau tumpangi. Makin terbuai ketika engkau sajikan beberapa cerita seputar jalan-jalan tertentu yang memiliki kekhasan tersendiri di kota ini. Makin menambah wawasan ketika engkau dongengkan kebiasaan warga kota dengan berbagai istilah yang saat ini sudah tak lagi akrab didengar. Makin terhenyak ketika mendengar secuil kisah tentang seorang pejuang yang mengkhianati kepercayaan orang-orang kecil yang menitipkan amanah kepadanya. Sungguh, papa adalah seorang teman diskusi ku tentang keunikan kota Surabaya untuk pertama kalinya.

            Tak mudah aku hapus kenangan saat engkau sering mengajak berdoa ketika menghadapi momen-momen tertentu yang harus dihadapi bersama. Nasehatmu tak pernah panjang lebar engkau ucapkan, namun melalui untaian kata dalam doa yang engkau sampaikan, aku mulai menangkap apa yang engkau harapkan terjadi pada putramu ini. Sebuah kebanggaan ketika sering mendampingimu beribadah di gereja kala hari minggu. Aku yang kebiasaan duduk di deretan belakang, mulai sering menemanimu duduk di deretan depan. Bahkan lebih dari itu, engkau mengajarkan aku untuk tidak terlambat berjumpa dengan Tuhan dalam ibadah dengan hadir sekian menit lebih awal dari yang lainnya. Sungguh, papa adalah seorang teman diskusi ku tentang perlunya hubungan yang baik dengan Tuhan untuk pertama kalinya.

            Ketika pada akhirnya aku harus menjalin hubungan yang lebih serius dengan pasangan hidup yang sudah aku pilih sendiri, engkau tidak pernah menolak atau meragukan keputusanku. Sebuah keputusan penting dalam hidupku, telah engkau dukung tanpa sekalipun menyatakan keberatan. Saat aku mengenalkanmu kepada keluarga pasangan hidupku, engkau terlihat begitu antusias dan semangat sekalipun harus menempuh jarak yang jauh di luar kota. Ketika pada saatnya aku meutuskan untuk menikah, engkaulah yang pertama kali menyatakan dukungan penuh tanpa syarat apa pun. Sekalipun engkau menyatakan dengan terus terang tidak mampu mendukung secara ekonomi, namun restumu sudah lebih dari cukup untuk semua. Keyakinanmu bahwa aku mampu mengatasi segala situasi, membuat engkau tidak perlu kuatir dengan pertimbangan harus menunda pernikahan atau hal yang lebih buruk dari itu. Sungguh, papa adalah seorang teman diskusi ku tentang iman yang tidak perlu diragukan lagi.

            Aku selalu mengingat senyum dan tawamu manakala aku berkisah perkembangan fisik dan tingkah laku dari putri pertama kami yang juga cucumu. Sedikit masukan dan saranmu selalu menimpali kala aku menyampaikan kondisi terbaru putri kami yang sedang bertumbuh dengan lucu dan menggemaskan. Aku tahu, engkau tak pernah bermaksud buruk padanya namun engkau menghargai keputusan kami dengan penuh kepercayaan, manakala kami memutuskan untuk membesarkan putri kami dengan gaya kami sendiri. Terima kasih papa…

            Pergaulanku bersamamu hari demi hari mengenalkanmu kepadaku beberapa hal penting dalam hidup ini. Pertama, menghargai orang tua yang pernah mendidik dan membesarkanku. Oleh karena itu, sungguh terasa senang ketika aku mampu memenuhi apa yang engkau inginkan. Jujur, aku tersentuh dan terharu ketika engkau dengan antusias mau menerima makanan yang aku berikan padamu dari hasil keringatku. Ketika engkau menyantapnya dengan lahap masakan hangat di saat sakitmu, ketika ragamu tak mampu lagi mencerna makanan dengan baik. Semangkuk hidangan yang aku berikan masih mampu engkau nikmati dengan sempurna. Sendok demi sendok masih mampu engkau tuangkan masuk ke mulutmu. Hingga engkau berkata “Besok titip belikan ini lagi ya…”. Membuatku tersirat bangga bahwa aku masih mampu membuatmu senang di sela sakitmu. 

            Di sela ketidak berdayaanmu, aku masih mendapatkan kehormatan membantumu berdiri ketika terduduk di kamar mandi. Menyuapkan makanan walaupun dua atau tiga sendok. Menolong ketika engkau harus membuang kotoran airmu setiap lima belas menit. Bahkan kudengarkan segala keluh kesahmu yang tak yakin aku mampu menjawabnya. 

            Pelajaranku kedua saat bersamamu adalah engkau mengajarku untuk mandiri. Berkali-kali keputusan terpenting dalam hidupku, engkau telah biarkan aku untuk menentukan sendiri bagaimana pemecahannya. Bahkan untuk beberapa hal yang engkau sendiri masih mampu mengerjakan, telah engkau percayakan kepadaku untuk mengurusnya. Dalam beberapa hal engkau mengajarkan aku untuk meraih kedewasaan walaupun dengan langkah yang tidak mudah. 

            Seringkali aku harus berbeda pendapat denganmu. Kerasnya hati membuat kita sering berbeda dalam menentukan keputusan. Beberapa hal harus aku hadapi dengan menerima makian, cercaan dan umpatan yang pada akhirnya mendewasakan langkah kaki serta cara berpikirku. Tekadmu yang kuat untuk terus berjuang kala penderitaan sudah makin menerpa, membuatku makin mendapatkan keteladanan seorang pekerja keras yang menghadapi dunia ini dengan berbagai tantangannya.  Sungguh, papa merupakan salah seorang teladan kehidupan yang paling berkesan di hati.

            Oya, tanggal ini bukan hanya ulang tahunmu yang aku ingat. Aku masih terkenang kala engkau hadir di hari pertunanganku tiga tahun lalu. Saat dengan linangan air mata engkau berkata penuh haru bahwa hari pertunanganku dengan pasanganku merupakan kado ulang tahunmu yang terindah. Hari ini dengan air mata yang tertuang pula aku akan mengenang peristiwa itu sebagai salah satu kesan terindah dalam hidupku. Sebuah tangisan seorang ayah yang menghantar anaknya menuju kedewasaan. Sebuah tangisan seorang ayah yang bersiap melepas anaknya menuju dunia yang mandiri. Sebuah keteladanan yang siap aku wariskan pada anakku yang juga merupakan cucumu.

            Pada akhir tulisan ini, aku mengingat ketika beberapa tahun lalu di suatu pagi saat engkau melepas kepergian istrimu yang adalah mama dengan sebuah untaian syair lagu yang adalah lagu kesukaanmu. Sebuah lagu yang adalah harapan yang kita tahu, tak mungkin terjadi untuk dihadapi dalam kehidupan ini. dengan lirih ijinkan aku ucapkan senandung itu lagi  “Andaikan kau datang kemari, jawaban apa yang kan ku beri..adakah jalan yang kau temui, untuk kita kembali lagi…”

            Selamat jalan papa…

( Okky T. Rahardjo- Endah Krisnawati & Christina Elvira Putri Rahardjo )
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar