Jumat, 21 Februari 2014

Sebuah Catatan Album Jeritan Hatiku





        Bulan kedua di tahun 2014 ini kita akan mencoba mengarahkan ruang dengar kita pada sebuah album yang dirilis oleh Koes Plus di bulan yang sama sekitar tiga puluh empat tahun yang lalu. Album itu berjudul “Jeritan Hatiku” yang diedarkan oleh Purnama Record. sebuah album Koes Plus yang menandakan “kedewasaan” mereka dalam bermusik. Kedewasaan ini dapat dilihat dalam pengolahan musik yang mulai tertata semakin rapi dan cenderung berhati-hati, tidak lagi menghentak-hentak sama seperti ketika mereka eksis di tahun tujuh puluhan. Kita juga meilhat kematangan mereka dalam menyusun syair lagu sangat terasa sekali kepiawaian sebagai musisi yang sudah malang melintang dalam dunia seni selama belasan tahun. Perasaan cinta dan sayang tidak lagi diucapkan secara vulgar namun tidak kehilangan sisi romantismenya. Selain itu sisi kedewasaan tentu juga karena faktor usia yang mengikuti mereka tidak dapat diingkari, bahwa mereka bukan lagi musisi muda yang mencari jati diri sehingga karya yang dihasilkan tidak lagi berdasarkan luapan emosi semata.

            Ketika kita memutar tombol play pada tape pemutar pita kaset, seketika akan terdengar bunyi-bunyian terompet pada lagu pembuka yang bertajuk “Jeritan Hatiku”. Persis sama dengan judul album yang menjadi unggulan pada rekaman kali ini. Koes Plus tampaknya berusaha mengikuti trend beberapa pemusik yang menggunakan aliran brass section, sehingga pada lagu pembuka ini dimunculkan suara terompet atau saxophone yang cenderung dominan muncul pada lagu ini. Saat itu The Rollies adalah band yang mulai mempopulerkan brass section pada lagu yang dihasilkan. Memang sebelumnya The Mercys pun pernah menyajikan saxophone namun tidak semeriah keberadaan The Rollies dalam penggarapan bunyi-bunyian tiup pada sebuah karya lagu. Koes Plus berhasil menyajikan bunyi tiupan ini secara menarik seakan sebuah permainan ansamble musik dimainkan pada lagu ini. Saxophone yang dihasilkan lebih terasa bergemuruh dibandingkan ketika mereka mencoba pertama kali setahun sebelumnya pada lagu Karen Julie. Entah siapa yang membunyikan saxophone ini, apakah Tonny Koeswoyo langsung atau adakah musisi tambahan, belum ada konfirmasi secara pasti mengenai pengisi suara alat musik tiup ini. vokal Yon Koeswoyo pun masih terdengar manja dan mendayu pada lagu karya Tonny Koeswoyo ini.

            Selanjutnya kita akan menyimak lagu kedua yang berjudul Maafkan Aku. Saat kita mendengarkan lagu ini kita terasa seperti sedang diberi cerita dengan gaya bernyanyi oleh pengarangnya. Tiba-tiba saja tanpa ada pengantar yang bersifat basa-basi, kita dikejutkan oleh kata “di senja hari sabtu, kau datang lagi ke rumahku…”. Bukankah itu seperti seorang yang sedang bertutur pada sahabatnya. Yon Koeswoyo seakan curhat tentang masalah asmara yang sedang dihadapi. Dia sepertinya sedang resah atau galau, meminjam istilah bahasa anak muda sekarang ini. Hal itu membuat dia tidak mau menemui kekasihnya, melainkan bersembunyi di dalam kamar. Angan kita sepertinya tergiring pada kisah dalam lagu ini. Kita sepertinya dibawa untuk bertanya-tanya, ada kisah apa di balik lagu ini. Mengapa Yon sampai tidak mau menemui kekasihnya. Apa yang sedang dialami oleh Yon Koeswoyo sehingga mengurung diri di dalam kamar. Emosi dan angan kita sepertinya dengan lihai dibawa oleh sang pembuat lagu. Bahkan saat pertama kali mendengarkan lagu ini, saya sempat bertanya dalam hati, siapa saudara Yon Koeswoyo yang sampai hati “mengusir” sang kekasih yang datang di malam minggu itu ya…Kita seakan dibawa pada sejuta penasaran yang tidak mudah untuk dijawab. 

            Suasana yang galau itu semakin dibawa mengharu biru manakala Yok Koeswoyo melantunkan lagu pada urutan ketiga yaitu Kekasihku Kembali. Yok Koeswoyo dengan gaya lembut mendendangkan perasaan cintanya pada sang kekasih yang sedang dirindukan. Tapi simaklah, baris demi baris syair yang dilantunkan sudah menunjukkan kematangan seorang musisi yang sudah teruji melewati berbagai masa dan tantangan. Bukan lagi seperti musisi muda yang ketika membuat lagu terkesan meraung-raung sedih ditinggalkan sang kekasih. Cobalah mendengarkan lagu ini sembari memejamkan mata, maka akan terbersit sebaris kenangan manis yang mampu menitikkan air mata kita tatkala mengenangnya.

            Sudah cukup dengan galau, resah dan sendu saatnya untuk kembali riang dan ceria menghadapi hidup ini. hal itulah yang ingin dituangkan oleh Koes Plus dalam lagu berikutnya. Ibu Jangan Menangis didendangkan dengan penuh semangat oleh Yok Koeswoyo. Pada lagu ini kita mendengrkan lagi sentuhan brass yang menghiasi lagu ini di sela permainan bass dan drum yang terdengar sebagai ciri khas musik Koes Plus. Yok Koeswoyo berusaha tampil maksimal pada lagu ini sehingga duet vokal pun beliau isi sendiri pada bagian reffrein. Lagu ini seakan menyiratkan seorang yang sedang berjuang untuk menggapai cita-cita. Kegagalan memang pernah diraih, namun dia tidak mau berputus asa. Dia siap membaktikan dirinya pada ibu pertiwi yang telah memberikan yang terbaik pada dirinya.

            Bukan Koes Plus kalau tidak menampilkan lagu bertema cinta tanah air dalam album yang dihasilkan. Pulau Kelapa sebagai pemujaan pada bangsa dan negara disajikan dengan nuansa yang sedikit jazzy. Di sinilah letak kejeniusan Tonny Koeswoyo sebagai musisi dalam meramu musik pada sebuah lagu. Kita akan melihat betapa asyiknya melantunkan keindahan negeri ini tanpa terasa monoton dan menjemukan. Bahkan sesekali terdengar Tonny Koeswoyo melakukan unjuk kebolehan bermain keyboard. Salut untuk lagu yang bagus ini…

            Lagu-lagu yang disajikan pada lagu ini seakan terasa nikmat bila dinikmati saat sorehari, sambil duduk di beranda rumah sembari melepas lelah setelah seharian bekerja. Betapa tidak, beberapa kali kata senja diucapkan menghiasi lagu ini. Apalagi bila kita menyimak sebuah lagu yang berjudul Hujan Di Senja Hari. Pikiran kita akan dibawa melayang, sebuah lagu sendu yang  dibawakan secara nge-beat. Yon Koeswoyo merupakan pilihan tepat untuk membawakan lagu-lagu macam ini. Tema yang dsajikan memang terkesan klasik. Mengenang sang kekasih di kala hujan. Dulu kala ada lagu serupa berjudul Tetes Hujan Di Bulan April, atau juga Awan Cerah Kembali yang direkam oleh Favourite’s Group. Bahkan kelak sesudahnya akan muncul lagu yang berjudul Hujan Di Malam Minggu. Namun ketika Koes Plus membuat lagu Hujan Di Senja Hari, tetap terasa nyaman untuk kita nikmati.

            Album ini ditutup oleh sebuah lagu yang berjudul Seribu Khayalan. Sebuah lagu yang cukup membuat kita mengerutkan dahi akan apa makna di balik lagu ini. maklum saja, saat itu Koes Plus sudah mulai dihinggapi penggunaan “kata-kata sulit”sejak era 1978an. Sebuah penyajian yang berbeda dibandingkan saat mereka eksis kala dasawarsa tujuh puluhan. Pada lagu terakhir ini kita akan mendengarkan vokal Tonny Koeswoyo yang hanya berperan sebagai backing vokal. Cukup lumayan, mengingat dari awal kita tidak mendengarkan suara beliau secara utuh sebagaimana pada album-album sebelumnya.

            Secara keseluruhan, saya secara pribadi berpendapat bahwa album ini merupakan salah satu album Koes Plus terakhir yang terasa keberadaan mereka secara maksimal sebagai sebuah band. Kita bisa mendengar secara baik permainan keyboard Tonny Koeswoyo, cabikan bass yang mantab yang mungkin masih dilakukan oleh Yok Koeswoyo secara langsung, mengingat pada album berikutnya permainan bass tidak lagi terdengar maksimal sebagaimana pada album ini. Permainan drum Murry pun masih terasa menghentak dan menggetarkan ruang dengar kita.

            Pada segi cover, Koes Plus tetap tampil sederhana dengan menampilkan posisi duduk yang memanfaatkan sebuah kursi sofa untuk sarana pose bersama. Kalau urusan yang satu ini mereka tidak berbeda dari saat eksistensi di dekade tahun tujuh puluhan. Sebuah gaya yang bersahaja namun mengemas sesuatu yang istimewa.

            Tiada gading yang tak retak, bila boleh melihat suatu kekurangan dari karya hebat seorang anak manusia. Pada album ini ada sebuah lagu yang sangat janggal sekali ketika didengarkan. Pada track keenam saat menampilkan lagu Berlarut, telinga kita akan segera mengadaptasinya dengan lagu Begadang karya Rhoma Irama. Mungkin sebagai penggemar Koes Plus kita akan segera menangkis dengan kata-kata pembenaran semacam “ terinspirasi, kebetulan sama atau penyebutan kemiripan yang tidak sampai delapan bar atau sejenisnya”. Namun harus diakui bahwa satu dua baris pada lagu itu memang mirip dengan bagian awal pada lagu Begadang yang pernah sangat populer di tahun-tahun sebelumnya. Saya juga tidak sedang menuduh Koes Plus sedang kehabisan ide, namun keterbatasan karya manusia membuat karya mereka menjadi hampir serupa dengan karya manusia lainnya.

            Kira-kira apa yang kurang lagi dalam album ini, ya benar…Tidak ada vokal Murry menghiasi album yang memiliki nomor seri 444 ini. Pada album rilisan Purnama Record sebelumnya, suara emas Murry masih mengisi pada urutan lagu yang disajikan. Namun pada album ini tidak ada sama sekali. Entah apa yang melatar belakangi, bisa jadi karena lagu yang ada tidak sesuai dengan vokal beliau. Bisa juga Murry memang tidak memiliki karya yang siap untuk direkam saat itu. Atau memang jatah lagu yang direkam sudah lebih dari cukup, mengingat lagu terakhir saja muncul pada side B urutan pertama. Namun yang pasti, album Jeritan Hatiku telah muncul sebagai upaya Koes Plus untuk tetap eksis dalam industri musik Indonesia yang saat itu sedang digempur oleh penyanyi-penyanyi solo pria maupun wanita.

            Demikian yang dapat kami sajikan mengenai catatan singkat tentang salah satu album Koes Plus. Mohon maaf atas setiap rangkaian kata dan kalimat yang kurang berkenan. Jayalah selalu musik Indonesia.

 ( Okky T. Rahardjo, penggemar Koes Plus dari Surabaya—085645705091 )


1 komentar: